- 31/08/2010
- Posted by: operator
- Categories: Economic, Bisnis & Informasi Bisnis, Supply Chain Management, Logistic, Distributorsip Management
Ketika Vietnam baru saja menang perang dari Amerika dan merdeka. Presidennya datang ke Indonesia untuk belajar cara menanam padi yang baik bagaimana. Presiden Vietnam ini masih nampak sangat miskin, hal ini terlihat dari baju yang dikenakan. Bajunya bolong-bolong akibat letikan rokok yang dihisapnya. Ia hanya bersandal jepit dan tidak bersepatu. Namun dari data wikipedia disebutkan ” Sebagai hasil dari langkah-langkah reformasi tanah (land reform), Vietnam sekarang adalah produsen kacang cashew terbesar dengan pangsa 1/3 dari kebutuhan dunia dan eksportir beras kedua terbesar di dunia setelah Thailand. Vietnam memiliki persentasi tertinggi atas penggunaan lahan untuk kepentingan cocok tanam permanen, 6,93%, daripada negara-negara lain di Sub-wilayah Mekong Raya (Greater Mekong Subregion). Kepemilikan swasta digenjot dalam bidang industri, perdagangan dan pertanian. Dalam satu pihak, Vietnam berhasil mencapai pertumbuhan GDP tahunan sebesar 8% dari tahun 1990 hingga 1997 dan berlanjut sekitar 7% dari tahun 2000 hingga 2005, membuat Vietnam sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat kedua di dunia”. Konon kisah ini sudah banyak yang mengetahui, dan seringkali menjadi anekdot. Anekdotnya bagaimana? Murid yang diajari akhirnya menjadi kaya dibanding gurunya. Sekarang bukti nyatanya sudah sangat nampak, sementara Indonesia kekurangan beras, Vietnam malah menjadi pengekspor beras ke Indonesia. Alhasil beras di Indonesia menjadi mahal, dan rakyat kecil pada mengeluh untuk dapatkan beras murah.
Apa yang bisa kita petik dari pelajaran ini jika dihubungkan dengan Market Intelligence? Tentunya ada kisi-kisi yang sangat mirip dengan praktek pemasaran produk. Presiden Vietnam datang ke Indonesia niatan sesungguhnya bukan untuk belajar cara menanam padi, ia sebenarnya sudah pandai menanam padi bila dibanding Indonesia. Ia hanya ingin menyelidiki seberapa besar penduduk Indonesia di 20 tahun mendatang, itulah yang sedang ia pelajari. Serta kedatangannya ingin menyakinkan, apakah penduduk Indonesia memang benar-benar memiliki kebiasaan makan nasi sehari-harinya.
Kedatangan presiden Vietnam ini sama seperti kisah seorang salesman produk sepatu yang diutus oleh bosnya untuk datang ke sebuah Pulau. Salesman pertama yang datang ketika melihat kondisi sekitar pulau melihat bahwa penduduk di pulau itu jarang yang memakai sepatu, maka ketika ia pulang ke kantornya, ia memberikan laporan pada bosnya bahwa di pulau itu tidak ada peluang untuk jualan sepatu karena tidak ada yang sedang memakai sepatu. Sang Bos tidak yakin dengan hal itu, ia kemudian mengutus salesman yang ke 2, dan salesman ke 2 itu melihat hal yang sama seperti yang dilihat salesman pertama, penduduk tidak ada yang memakai sepatu. Tetapi ia memiliki pendapat lain, bahwa ia sedang melihat peluang yang besar di pulau itu untuk jualan sepatu. Tinggal bagaimana perusahaan melakukan edukasi pada penduduk di pulau itu dan membuat distribution channel!
Akan halnya dengan presiden Vietnam, ia memiliki kaca mata yang sama dengan salesman 2, bahwa Indonesia adalah pasar yang cukup besar jika nanti Vietnam sudah berkembang sebagai Negara pertanian yang terbesar di Asia. Oleh sebab itu jangan heran kemudian kalau ”kenyataan” itu terjadi. Indonesia menjadi tujuan penjualan produk pertanian Vietnam. Sementara sang objec, Indonesia sudah terlanjur merasa sebagai guru, jadi sekarang posisinya adalah sedang berbangga karena muridnya berhasil. Sebagai sang guru tentunya tidak tega dengan muridnya yang sedang jualan. Sang guru lalu membelinya walau sebenarnya di satu sisi juga menjadi buah simalakama. Sebenarnya bukan ini yang dimaksud, untuk sektor tertentu Vietnam telah berkembang lebih baik dari Indonesia, ia telah mengembangkan produk pertaniannya dengan metode yang canggih, apalagi dengan cara memasarkan produknya. Ia sudah memiliki data base dan analisanya, yang cikal bakalnya diambil dari presiden Vietnam pertama.
Kisi-kisi yang sama lainnya adalah penjualan-penjualan riil yang dilakukan oleh salesman di toko-toko, jurus pamungkas akhir agar pemilik toko membeli adalah menyodorkan nuansa kekeluargaan, membantu pemilik toko bekerja, atau ritual-ritual lainnya yang pada intinya adalah melakukan pendekatan pribadi agar produk yang dijualnya dibeli oleh konsumen. Salesman-salesman seperti inilah yang dikehendaki oleh para pemilik usaha karena murah meriah investasinya. Tetapi jika ada perusahaan yang sangat agresif menggunakan metode penjualan yang lain, salesman-salesman seperti ini akan segera tumbang digantikan dengan salesman profesional yang sudah menguasai data customer lengkap dan analisanya. Semua ini bisa terjadi jika market Intelligence perusahaan sangat kuat, ia bisa membekali orang lapangannya dengan informasi yang akurat pula. Jadi jangan remehkan market Intelligence!
Perusahaan-perusahaan yang berkompetisi, selalu saling intip soal aktivitas atau program-program jangka pendek dan panjang perusahaan kompetitor, misalnya peluncuran produk baru, harga produk, iklan, lokasi pemasaran, serta lainnya. Cara mendapatkan informasi tidak tanggung-tanggung, mengorek-korek tong sampah bukanlah pemandangan yang aneh, tetapi mereka melakukan untuk mendapatkan sejumlah informasi yang akan dilakukan pesaingnya. Bahkan selain melakukan hal remeh seperti diatas, market intelligence bisa datang dalam bentuk karyawan rendahan seperti kuli angkut, office boy, atau salesman sekalipun. Hati-hati jika anda tidak waspada dengan market intelligence pesaing! Anda akan dilumatkan dan dipatakan tulang-tulangnya hingga colaps!**